Friday, September 29, 2017

DASAR-DASAR HUKUM MUAMALAH DAN AKAD

DASAR DASAR HUMUM MUAMALAN DAN AKAD

Oleh : Linda Nur'amalia

Dosen Pengampu: Asep Irfan Rifa'i, M.Pd



PRORAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
YAPERI CIBINONG – BOGOR2017
 ________________________________________________________________________

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan sesamanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga secara pribadi tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam memenuhi kebutuhan keduanya, yaitu dengan proses untuk akad.
Dalam pembahasan fiqh, akad dapat digunakan bertransaksi sangat beragam, sesuai dengan karakteristik dan spesifikasi kebutuhan yang ada. Maka dari itu, dalam makalah ini kami akan mencoba untuk menguraikan mengenai berbagai hal yang terkait dengan akad dalam pelaksanaan muamalah di dalam kehidupan kita sehari-hari.
B.     Rumusan Masalah
  1. Apa definisi dari muamalah dan akad?
  2. Apa saja hal yang harus diketahui dalam akad?
  3. Bagaimana cara menyesuaikan kegiatan muamalah dengan perkembangan zaman menurut para ulama?
C.    Tujuan
Adapun tujuan disusunnya makalah ini antara lain untuk:
  1. Mengetahui secara rinci apa yang dimaksud dengan muamalah dan akad baik secara umum maupun menurut para ahli;
  2. Menyelesaikan tugas mata kuliah fiqih muamalah semester ganjil; 
  3. Memiliki wawasan serta pengetahui hal yang bersangkutan dengan muamalah dan akad.


 BAB II PEMBAHASAN

A.      Definisi Hukum Muamalah dan Akad
1.      Definisi Muamalah
Secara bahasa kata muamalah dapat diartikan sebagai saling bertindak, saling berbuat dan saling beramal. Dalam fiqih muamalah memiliki dua macam pengertian yaitu pengertian fiqih muamalah dalam arti sempit dan pengertian fiqh muamalahdalam arti luas.
Dalam arti sempit pengertian fiqih muamalah adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya dengan cara memperoleh, mengatur, mengelola dan mengembangkan mal (Harta benda). Sedangkan dalam arti luas fiqih muamalah adalah aturan (hukum) Allah yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan duniawi untuk mencapai tujuan akhirat.
2.      Definisi Akad
Secara etimologis, kata ‘Akad berarti ikatan dan tali pengikat. Jika dikatakan ‘Aqada al-habla maka itu menggabungkan antara dua ujung tali lalu mengikatnya, kemudian makna ini berpindah dari hal yang bersifat Hissi (indra) kepada ikatan yang tidak tampak antara dua ucapan dari kedua belah pihak yang sedang berdialog. Dari sinilah kemudian makna akad diterjemahkan secara bahasa sebagai menghubungkan antara dua perkataan, masuk juga didalamnya janji dan sumpah. Karena kedua arti demikian mangandug makna yang  sama-sama mengikat.
Menurut terminologis ulama fiqih, akad dapat diartikan sebagai pertalian antara Ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan Qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh terhadap objek perikatan.

B.       Dasar Hukum Muamalah dan Akad
Pada dasarnya hukum mu'amalah seperti halnya jual beli, ariyah, gadai, dan lain-lain adalah halal dan dibolehkan sebagaimana asal hukum segala sesuatu yang ada di bumi itu halal dan dibolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Ini adalah pendapat jumhur ulama, madzhab Maliki, madzhab Syafi'i, madzhab Hambali, dan sebagian besar ulama madzhab Hanafi, bahkan Ibnu Rajab Ra. mengatakan, "Sebagaian ulama mengatakan ini adalah kesepakatan para ulama".
Berikut ini merupakan dalil kaidah dalam hal muamalah dan akad:
1.      Dalil Umum,
Firman Allah Swt. Dalam Qs. Al-Baqarah ayat 29:  هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاًٰ
“Dialah (Allah) yang menciptakan semua apa yang ada di muka bumi ini untuk kalian”.
2.      Dalil Khusus,
Firman Allah Swt. Dalam Qs. Al-Ma’idah ayat 1:ٰيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu”.
Ayat ini mencakup semua akad perjanjian, baik itu perjanjian manusia kepada Allah atau sesama makhluknya. Allah memerintahkan agar manusia memenuhi akad-akad itu semuanya, dan ini menunjukkan bahwa pada dasarnya hukum mu'amalah adalah boleh dan halal, seandainya akad-akad itu hukumnya haram, pasti Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk memenuhinya. Juga firman Allah swt. yang lain:                                                                 وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. al-Baqarah: 275)
Dalam ayat tersebut, Allah swt. menghalalkan berbagai macam jual beli karena didalamnya ada maslahat manusia secara umum dan mengharamkan riba karena terdapat kezhaliman, dan makan harta orang lain dengan cara batil. Ini menunjukkan bahwa asal hukum dalam mu'amalah halal dan dibolehkan selagi tidak ada di dalamnya kezhaliman dan makan harta orang lain dengan cara batil.

C.      Rukun Akad
1.      Aqid, adalah orang yang berakad (subjek akad);
2.      Ma’qud ‘alaih, adalah benda-benda yang akan diakadkan (objek akad), Ma’qud ‘Alaih harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
a)      Obyek transaksi harus ada ketika akad atau kontrak sedang dilakukan.
b)      Obyek transaksi harus berupa mal mutaqawwim dan dimiliki penuh oleh pemiliknya.
c)      Obyek transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan dikemudian hari.
d)     Adanya kejelasan tentang obyek transaksi.
e)      Obyek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan barang najis.
3.      Maudhu’ al-‘aqd adalah tujuan atau maksud mengadakan akad.
4.      Shighat al-‘aqd, yaitu Ijab Qabul.
D.      Syarat-Syarat Akad
1.      Para pihak yang melakukan akad telah cakap menurut hukum (mukallaf).
Mukallaf berarti telah dapat dibebani hukum, sedangkan Cakap artinya telah dewasa dan tidak hilang akal.
2.      Memenuhi syarat-syarat objek akad, yaitu Objek akad telah ada ketika akad dilangsungkan, sesuai syariat, harus jelas juga dapat dikenali dan dapat diserahterimakan.
3.      Akad tidak dilarang oleh nash Al-Qur’an dan hadis.
4.      Dilakukan memenuhi syarat-syarat khusus yang terkait dengan akad.
5.      Harus bermanfaat serta memiliki tujuan akad yang jelas dan diakui syara’
6.      Pernyataan ijab harus tetap utuh dan sahih sampai terjadinya qabul.
7.      Ijab dan qabul dinyatakan dalam satu majelis.
Setiap manusia bebas mengikatkan diri kedalam suatu akad dan wajib dipenuhi segala akibat hukum yang ditimbulkan akad itu. Seperti firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 1: “…wahai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu”

E.       Ijab Qabul
1.      Definisi Ijab Qabul
Ijab Qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad diantara dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Oleh karena itu, dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai Akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridhaan dan syari’at Islam.
Contoh Ijabyang merupakan pernyataan seorang penjual, “saya telah menjual/menyerahkan barang ini kepada saudara”. Kemudian contoh Qabul, “Saya beli/terima barangmu”. Jadi, Ijab adalah pernyataan dari orang yang menyerahkan barang sementara Qabul adalah pernyataan dari penerima barang.
2.      Syarat Ijab Qabul
a.         Adanya kejelasan maksud antara kedua belah pihak.
b.        Adanya kesesuaian antara Ijab dan Qabul
c.         Adanya satu majlis akad dan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, tidak menunjukan penolakan dan pembatalan dari keduanya.
d.        Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa, dan tidak karena di ancam atau ditakut-takuti oleh orang lain karena dalam tijarah (jual beli) harus saling merelakan.
3.      Pembatalan Ijab Qabul
Ijab Qabul akan dinyatakan batal apabila:
a.       penjual menarik kembali ucapannya sebelum terdapat qobul dari si pembeli.
b.      Adanya penolakan ijab dari si pembeli.
c.       Berakhirnya majlis akad. Jika kedua pihak belum ada kesepakatan, namun keduanya telah pisah dari majlis akad. Ijab dan qobul dianggap batal.
d.      Kedua pihak atau salah satu, hilang ahliyah -nya sebelum terjadi kesepakatan
e.       Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinya qobul atau kesepakatan.
4.      Metode (Uslub) shighat Ijab dan Qabul
Uslub shighat dalam akad dapat diungkapkan dengan beberapa cara yaitu:
a.       Akad dengan Lafadz (Ucapan), yaitu shighat akad yang paling banyak digunakan orang karena paling mudah dan cepat dipahami.
b.      Akad dengan perbuatan, Misalnya penjual memberikan barang dan pembeli memberikan uang. Hal ini sangat umum dizaman sekarang.
c.       Akad dengan isyarat, Metode ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang tidak dapat berbicara.
d.      Akad dengan tulisan, orang yang mampu ataupun tidak mampu berbicara diperbolehkan menggunakan metode ini dengan syarat tulisan harus jelas, tampak, dan dapat dipahami. Selain itu metode ini hanya digunakan apabila kedua pihak yang berakad tidak dapat hadir.
F.       Dampak Akad
1.      Dampak khusus
Dampak khusus adalah adalah hukum akad, yakni dampak asli dalam pelaksanaa suatu akad atau maksud utama dilaksanakannya suatu akad, seperti pemindahan kepemilikan dalam jual-beli, hibah, waqaf, upah, dan lain-lain.


2.      Dampak umum
Segala sesuatu yang mengiringi setiap atau sebagian besar akad, baik dari segi hukum maupun hasil.
G.      Pembagian Akad
Diantara bagian akad yang terpenting adalah sebagai berikut:
1.      Berdasarkan ketentuan syara’
a.       Akad shahih, yaitu akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari akad shahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat pada pihak yang berakad.
b.      Akadyang tidak shahih adalah akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad.
2.      Berdasarkan penamaannya
a.       Akad yang telah dinamai syara’, seperti jual-beli, hibah, gadai, dan lain-lain.
b.      Akad yang belum dinamai syara’ tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman.
3.      Berdasarkan Maksud dan Tujuan Akad
a.       Kepemilikan;
b.      Menghilangkan kepemilikan;
c.       Kemutlakan; yaitu mewakilkan secara mutlak kepada wakilnya;
d.      Perikatan, yaitu larangan kepada seseorang untuk beraktivitas;
e.       Penjagaan.
4.      Berdasarkan Zatnya
Benda yang berwujud (Al-‘Ain) dan benda tak berwujud (Ghair al’Ain).

H.      Kedudukan, Fungsi, Ketentuan dan Pengaruh Aib dalam Akad 
1.      Kedudukan dan fungsi akad adalah sebagai alat paling utama dalam sah atau tidaknya muamalah dan menjadi tujuan akhir dari muamalah.
2.      Akad yang menyalahi syariat seperti agar kafir atau akan berzina tidak harus ditepati, Tidak sah akad yang disertai dengan syarat.
3.      Akad yang dapat dipengaruhi Aib adalah akad akad-akad yang mengandung unsur pertukaran seperti jual beli atau sewa.
4.   Cacat yang karenanya barang dagangan bisa dikembalikan adalah cacat yang bisa mengurangi harga/nilai barang dagangan, dan cacat harus ada sebelum jual beli menurut kesepakatan ulama.
5.     Akad yang tidak dimaksudkan untuk pertukaran seperti hibah tanpa imbalan, dan sedekah, tak ada sedikitpun pengaruh aib di dalamnya.
6.      Akad tidak akan rusak/batal sebab mati atau gilanya aqid kecuali dalam aqad pernikahan.
7.      Dalam hal pernikahan Jika ada cacat dalam mahar maka boleh dikembalikan dan akadnya tetap sah dengan konsekuensi harus diganti.

I.         Pendapat Ulama dengan Dalil yang mengharamkan
Pendapat ulama mengenai “bai’ataini fi bai’atin” diuraikan sebagai berikut:
1.      Menurut kalangan ulama Hanafiyah, masyhur di kalangan ulama Malikiyah, satu dari ulama Syafi‟iyah, dari kalangan Hanbali, dan banyak dari para ulama pada umumnya, makna dari “bai’ataini fi bai’atin” adalah seorang penjual menjual dagangannya dengan harga yang bervariatif dalam satu akad jual beli, seperti masalah kredit.
2.      Kalangan ulama Hanafiyah, Hanbali, dan satu dari kalangan ulama Syafi‟i. menginterpretasi bahwa bai’ataini fi bai’atin” adalah mempersyaratkan suatu akad dengan akad lainnya sehingga memunculkan harga yang tidak jelas dan ketergantungan dengan syarat yang akan ditetapkan.
3.      Menjual sesuatu yang belum dimiliki. Pendapat tersebut termashur dikalangan sebagian ulama Maliki. Larangan jual beli seperti ini sangat jelas ditegaskan dalam hadis nabi Muhammad saw., yaitu :
بيعمانيسعىدك حديثعبداللهبهعمرو : وهىانىبيصهىاللهعهيهوسهمعهبيعتيهفيبيعتوعه
 “Hadis Abdullah bin Amru: Rasulullah saw., melarang dua jual beli dalam satu akad jual beli dan melarang jual beli yang belum dimiliki”.
Dalam Interpretasi yang terdapat pada ibnu Taimiyah dan ibnu al-Jauziyah yang disebut dengan jual beli ‘inah, menyatakan bahwa makna dari “bai’ataini fi bai’atin” adalah seseorang menjual suatu barang dengan harga tertentu secara angsuran/kredit lalu ia kembali membelinya dari pembeli dengan harga yang lebih sedikit secara kontan

J.        Kedudukan Akad Tijarah dan Akad Tabarru
1.      lafaz “bai’ataini fi bai’atin” merupakan lafaz bersifat umum, keumuman ini menimbulkan multi interpretasi dari kalangan ulama.
2.      Hadis atas larangan “bai’ataini fi bai’atin” bersifat multi tafsir, dimana para ulama tidak memiliki satu pemahaman melainkan lebih dari interpretasi yang berbeda.
3.      Objek kajian hadis tersebut ditafsirkan dengan sudut pandang yang berbeda dari kalangan ulama fikih, sebagian cenderung menafsirkan dari “akadnya”, sebagian lainnya cenderung mengarah kepada “syarat” yang ditetapkan.

K.      Akhir Akad
1.      Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila mempunyai tenggang waktu.
2.      Dibatalkan oleh pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat.
3.      Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad dapat dianggap berakhir jika:
a)      Jual beli itu fasad, seperti terdapat unsur-unsur tipuan salah satu rukun atau syaratnya tidak terpenuhi.
b)      Berlakunya khiyar syarat, aib, atau rukyat.
c)      Akad itu tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak.
d)     Tercapainya tujuan akad itu sampai sempurna.
e)      Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.

L.       Hikmah Akad
Diadakannya akad dalam muamalah antar sesama manusia tentu mempunyai hikmah, antara lain:
1.      Adanya ikatan yang kuat antara dua orang atau lebih di dalam bertransaksi atau memiliki sesuatu.
2.      Tidak dapat sembarangan dalam membatalkan suatu ikatan perjanjian, karena telah diatur secara syar’i.
3.      Akad merupakan ”payung hukum” di dalam kepemilikan sesuatu, sehingga pihak lain tidak dapat menggugat atau memilikinya.

M.     Pendapat Mengenai ‘Akad dalam Muamalah
1.      Pendapat Ulama’ tentang Jenis Akad Transaksi

Akad transaksi pada era masa kini tentunya mengalami perubahan karena harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat sekarang. Konsekuensinya, tak jarang beberapa jenis transaksi hukumnya dipertanyakan lagi, apakah jenis transaksi ini sesuai dengan syari’at atau tidak. Karena pada dasarnya, akad memiliki rukun dan syarat yang harus terpenuhi. Rukun itu antara lain : pernyataan untuk mengikatkan diri (sighah al-aqd), pihak-pihak yang berakad, dan obyek akad. Namun menurut Ulama’ Madhab Hanafi, rukun akad itu cukup satu yaitu sighah al-aqd, sedangkan pihak-pihak yang berakad dan obyek akad masuk pada syarat akad.

2.      Pendapat pemakalah
Kehidupan tentunya tidak hanya diam dalam satu masa, Begitupun dalam hal yang berkaitan dengan kegiatan muamalah terutama ‘Akad. Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar senantiasa menunaikan akad-akadnya. Karena Akad merupakan syarat dari segala yang mencakup muamalah seperti jual beli, utang piutang dan sebagainya. Akad juga merupakan suatu pernyataan ridha seseorang kepada saudaranya dalam memberi ataupun menerima sesuatu.
Mungkin dalam era digital sekarang, selain urusan akad pernikahan, tradisi akad jarang atau bahkan hampir tidak ada lagi karena maraknya system online yang membuat pelaku muamalah tidak secara langsung bertegur sapa. Namun, masih banyak cara untuk hal tersebut yang dapat membolehkan pelaku tetap dapat melakukan kegiatan muamalah, seperti dengan tulis menulis pesan, media audio, dan lain-lain. Karena Islam tidak mungkin memberatkan umatnya untuk beraktivitas jika kegiatannya bermanfaat, namun harus sesuai syara’ dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

 BAB III PENUTUP
A.    Simpulan
Dari beberapa penjelasan yang telah teruai maka dapat ditarik beberapa simpulan bahwasanya kesepakatan antar kedua pihak berkenaan dengan suatu hal atau kontrak antara beberapa pihak atas diskursus yang dibenarkan oleh syara’ dan memiliki implikasi hukum tertentu.terkait dalam implementasinya tentu akad tidak pernah lepas dari yang namanya rukun maupun syarat yang mesti terpenuhi agar menjadi sah dan sempurnanya sebuah akad.
Adapun mengenai jenis-jenis akad, ternyata banyak sekali macam-macam akad yang dilihat dari berbagai perspektif, baik dari segi ketentuan syari’ahnya, cara pelaksanaan, zat benda-benda, dan lain-lain. Semua mengandung unsure yang sama yakni adanya kerelaan dan keridhaan antar kedua belah pihak terkait dengan pindahnya hak-hak dari satu pihak ke pihak lain yang melakukan kontrak.
Sehingga dengan terbentuknya akad, akan muncul hak dan kewajiban diantara pihak yang bertransaksi. Sehingga tercapailah tujuan kegiatan muamalah dalam kehidupan kita sehari-hari.

B.     Rekomendasi pemakalah
Meskipun kita telah masuk ke era digital, namun bukan berarti kita menyimpang dari aturan agama. Mungkin cara melaksanakannya disesuaikan dengan situasi dan keadaan zaman. Dalam melakukan kegiatan muamalah, Akad perlu ditunaikan sebagai bentuk keridhaan pelaku timbal balik kebutuhan sosial. Meskipun tidak dapat secara langsung bertegur sapa, setidaknya ada pernyataan dari pelaku bahwa kedua pihak telah ridha dan sebaik-baiknya kegiatan adalah kegiatan yang dibenarkan oleh syari’at Islam.

Reference:
Syafe’i, Rachmat. 2001. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.
Muhammad Azzam, Abdul Aziz. 2010. Fiqih Muamalat. Jakarta: Azzam.
Rasjid, Sulaiman. 2014. Fiqih Islam.Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo Bandung. (Cet. Ke-67)
Maulidar, Agustina. Oktober 2013,“Pembagian Akad Dalam Fiqh Muamalah". Jurnal Pembagian Akad Dalam Fiqh Muamalah (Mu’awadhah, Tijarah, Tabarru’) Prinsip-Prinsip dan Teori Kontrak Syariah,
Edwar, Riover. 2012. “Kajian Tentang Muamalah dan Akad”
Pratama, Rizkia. 2012. “Akad Dalam Muamalah”
Muhammad Ali, Abu Ibrohim. Ekonomi Islam Aplication, “Kaidah Penting Dalam Muamalah”.