Friday, April 27, 2012
Tuesday, April 24, 2012
KAJIAN EPISTEMOLOGI DAN ETIKA PENDIDIKAN
4:59 PM
No comments
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dimensi filsafat ilmu
yang sering menjadi kajian secara umum yaitu meliputi tiga hal: dimensi
ontologi, dimensi epistemologi, dan dimensi aksiologi. Ketiganya merupakan
cakupan yang meliputi dari keseluruhan–keseluruhan pemikiran kefilsafatan. Dalam
makalah ini dipaparkan tentang satu diantara cabang filsafat tersebut, yaitu
epistemologi yang berhubungan dengan etika pengetahuan terutama etika yang
berkaitan dengan pendidikan.
Dimensi epistemologi merupakan aspek yang membahas
tentang bagaimana pengetahuan itu didapatkan. Berbagai cara dilakukan manusia
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang kemudian dengan pengetahuan tersebut
semakin meningkatkan kualitas peradaban manusia itu sendiri. Proses
mendapatkannya ada yang dengan cara non ilmiah maupun secara ilmiah.
Pengetahuan pengetahuan yang didapatkan oleh manusia itu jelas diharapkan
memiliki nilai kegunaan yang dapat membantu manusia mengangkat derajat manusia
menjadi manusia yang beradab dan berbudi luhur. Dalam hal ini pengetahuan jelas
tidak dapat dipisahkan dengan nilai atau etika pengetahuan itu sendiri.
Etika merupakan bagian dari apa yang disebut
aksiologi. Aksiologi adalah nilai yang terkandung dalam ilmu pengetahuan.
Sebagai manusia yang bermoral kita sepakat bahwa pengetahuan harus berdasar
pada nilai – nilai yang ada baik nilai moral maupun nilai tansendental. Yang
dimaksud dengan nilai moral adalah yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap
sessama sedangkan nilai transcendental adalah nilai yang dipertanggungjawabkan
di hadapan Yang Maha Kuasa.
Dalam dunia pendidikan etika sangat penting digunakan,
karena pendidikan berkaitan langsung dengan nilai. Berdasarkan nilai tersebut
pendidikan dapat menentukan tujuan, motivasi, kurikulum, metode belajar, dan
dan sikap terhadap peserta didik[1].
Pengetahuan etika dapat membantu guru dalam memecahkan banyak dilema yang
muncul di kelas. Seringkali guru dihadapkan pada permasalahan dimana guru harus
mengambil keputusan secara cepat dan tepat dimana mereka belum mampu
mengumpulakan fakta yang relefan terhadap permasalahan yang di hadapi, harus
tetap membuat keputusan yang tepat, setidaknya meminimalisir resiko yang
dihasilkan dari keputusan yang dibuatnya. Etika dapat menyumbangkan kepada guru
– guru bagimana cara berpikir dan membuat keputusan yang tepat.
B. RUMUSAN MASALAH
- Apa yang dimaksud dengan epistemologi?
- Apa yang di maksud dengan etika?
- Apa yang di maksud dengan pendidikan?
- Apa hubungan epistemologi dengan etika pendidikan?
C. TUJUAN
- Mengetahui makna epistemologi.
- Mengetahui makna etika.
- Mengetahui makna pendidikan.
- Mengetahui hubungan epistemologi dengan etika pendidikan.
BAB II
KAJIAN EPISTEMOLOGI DAN ETIKA PENDIDIKAN
A. EPISTEMOLOGI
- Pengertian
Salah satu
kajian filsafat adalah kajian epistemologi. Epistemologi berasal dari bahasa
Yunani Kuno, dengan asal kata “episteme” yang berarti pengetahuan,
dan “logos” yang berarti “teori”. Secara etimologi epistemologi
berarti teori pengetahuan.[2] Epistemologi merupakan
pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: Apakah sumber
pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan, dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah
manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan
yang mungkin untuk ditangkap manusia?[3]
Jadi, hal
pokok yang di bahas dalam kajian epistemologi adalah membahas tentang apa yang
menjadi sumber pengetahuan, bagaimana memperoleh pengetahuan dan prosedur
memperoleh pengetahuan tersebut.
- Cara mendapatkan pengetahuan
Sebelum
membahas bagaimana cara mendapatkan pengetahuan perlu kiranya kita ketahui apa
yang dimaksud dengan tahu dan pengetahuan. Tahu adalah keadaan seseorang
memiliki arsip informasi dalam memorinya (otak/hatinya). Sedangkan Pengetahuan
secara luas dapat diartikan mencakup segala hal yang kita ketahui tentang sesuatu
objek tertentu. Jadi, pengetahuan adalah terminologi generik yang mencakup
segenap cabang pengetahuan yang kita miliki.
Manusia memperoleh pengetahuan dari beberapa sumber,
maka dari itu kita dapat mengajukan pertanyaan “bagaimanakah caranya kita memperoleh
pengetahuan”? Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan:
1.
Empirisme
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam
filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui
pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu
manusia dilahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),
dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi.
Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan
serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi
yang pertama-pertama dan sederhana tersebut. Ia memandang akal sebagai sejenis
tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan
tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak
kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang
dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa
yang tidak dapat atau tidak perlu dilacak kembali secara demikian itu bukanlah
pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang
faktual.
2.
Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber
pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai
pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis
perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan
kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang
sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau
menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita
dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
3.
Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant.
Kant membuat uraian tentang pengalaman. Segala sesuatu sebagaimana terdapat
dalam dirinya sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita
dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan
penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang segala
sesuatu seperti keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang
menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon). Bagi
Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan di
dasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para
penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya
sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.
4.
Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suatu sarana
untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang
diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil
pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif. Salah satu di antara
unsur-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham ini
memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati
oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan
tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh
penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan
didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi
pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya diingat, intusionisme tidak
mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang
disimpulkan darinya. Intusionisme setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk-hanya
mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap diperoleh melalui intuisi, sebagai
lawan dari pengetahuan yang nisbi -yang meliputi sebagian saja- yang diberikan
oleh analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera
hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh
intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah
merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang
dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya. Pengetahuan yang
didapat dari dalam dirinya sendiri, muncul tiba-tiba dalam kesadaran manusia
hsil penghayatan pribadi, validitasnya sangat bersifat pribadi. Intuisi
mempengaruhi kita bahwa kita mengetahui sesuatu namun kita tidak mengetahui
bagaimana kita mengetahui. Bagi guru tidak hanya mngetahui bagaimana peserta
didik memperoleh pengetahuan melainkan juga bagaimana peserta didik belajar.
5.
Pengetahuan wahyu
Manusia
memperoleh pengetahuan dan kebenaran atas dasar wahyu yang diberikan Tuhan
kepada manusia. Tuhan telah memberi pengetahuan dan kebenaran kepada manusia
pilihannya, yang dapat dijadikan petunjuk bagi manusia dalam kehidupannya.
Wahyu merupakan firman Tuhan, kebenarannya adalah mutlak dan abadi. Pengetahuan
wahyu bersifat eksternal, artinya pengetahuan tersebut berasal dari luar
manusia.
Selain itu ada juga pendapat yang menyatakan bahwa manusia juga mendapatkan
pengetahuan dapat melalui berbagai cara, sebagai berikut[4]:
a.
Explanation magic, yaitu menghubungkannya dengan hal – hal gaib (takhyul dan
animisme);
b.
Authoryty and Tradition, yaitu menghubungkannya dengan apa yang telah dilakukan pemimpinnya.
Demikian selanjutnya menjadi tradisi.
c.
Generalization by experience, menggunakan pengalaman – pengalaman untuk menarik
suatu kesimpulan yang sifatnya umum dalam dalam memecahkan masalah yang
dihadapinya.
d.
Trial and error atau approximation and correction, yaitu mencoba – coba
sampai (secara tiba – tiba) menemukan pemecahannya yang dianggap memuaskan.
e.
Speculation and Argumentation, yaitu mengajukan kemungkinan –kemungkinan, lalu
diambilnya suatu kemungkinan dengan harapan berhasil dan benar kiranya
f.
Metode Deduksi, secara deduksi seseorang berpijak dari hal – hal yang bersifat umum untuk
memecahkan masalah – masalah yang khusus. (Aristoteles)
g.
Metode Induksi, mencari fakta – fakta yang nyata dan murni dari pengalaman dan masyarakat.
Dari fakta – fakta itulah ditarik kesimpulan yang bersifat umum (francis
bacon). Metode ini merupakan salah satu ciri research modern atau dari
sinilah bermula metode penelitian ilmiah.
h.
Hypotesis and experimen, yaitu membuat hipotesis – hipotesis, lalu mengumpulkan fakta – fakta,
selanjutnya dengan analisa yang sangat cermat, hati – hati dan tajam terhadap
fakta – fakta tersebut diambil suatu kesimpulan yang tepat dan bersifat umum
yang menjelaskan fakta – fakta tadi.
Ada beberapa teori yang dapat
dijadikan sebagai acuan untuk menentukan apakah pengetahuan itu benar atau
salah, yaitu;
1.
Teori Korespondensi
Teori yang pertama ialah teori korespondensi [Correspondence
Theory of Truth], yang kadang kala disebut The accordance Theory of
Truth. Menurut teori ini dinyatakan bahwa, kebenaran atau keadaan benar
itu berupa kesesuaian [correspondence] antara arti yang dimaksud oleh
suatu pernyataan dengan apa yang sungguh-sungguh terjadi merupakan kenyataan
atau faktanya. Kebenaran adalah yang bersesuaian dengan fakta, yang beralasan
dengan realitas, yang serasi (corresponds) dengan situasi actual. Kebenaran
ialah suatu yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi
aktual. Kebenaran ialah persesuaian (agreement) antara pernyataan (statement)
mengenai fakta dengan fakta aktual; atau antara putusan (Judgment) dengan situasi
seputar (Enviromental situation) yang diberinya intepretasi.
Jika sensasi kita, persepsi kita, pemahaman kita,
konsep dan teori kita bersesuaian dengan realitas obyektif, dan jika itu semua
mencerminkannya dengan cermat, maka kita katakan itu semua benar: pernyataan,
putusan dan teori yang benar kita sebut kebenaran. Sebagai contoh dapat
dikemukakan : " Surabaya adalah Ibu Kota Provinsi Jawa Timur
sekarang" ini adalah sebuah pernyataan; dan apabila kenyataannya memang
Surabaya adalah Ibu Kota Provinsi Jawa Timur ", pernyataan itu benar, maka
pernyataan itu adalah suatu kebenaran.
Mengenai Teori Korespondensi tentang kebenaran dapat
disimpulkan sebagai berikut Kita mengenal dua hal, yaitu : pertama pernyataan
dan kedua keyataan. Menurut teori ini kebenaran ialah kesesuaian antara
pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu sendiri.
2. Teori Konsistensi
Teori ini sering disebut juga sebagai teori
koherensi. Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara
putusan (judgment) dengan sesuatu yang lalu, yakni fakta atau realitas, tetapi
atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan demikian, kebenaran
ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru dengan putusan-putusan
lainnya yang telah kita ketahui dan akui benarnya terlebih dahulu. Jadi suatu
proposisi itu cenderung untuk benar jika proposisi itu coherent [saling
berhubungan] dengan proposisi yang benar, atau jika arti yang terkandung oleh
proposisi tersebut koheren dengan pengalaman kita. suatu putusan adalah benar
apabila putusan itu konsisten dengan putusan-putusan yang terlebih dahulu kita
terima, dan kita ketahui kebenarannya. Putusan yang benar adalah suatu putusan
yang saling berhubungan secara logis dengan putusan-putusan lainnya yang
relevance. Misalnya, Bungkarno, adalah ayahanda Megawati Sukarno Puteri, adalah
pernyataan yang kita ketahui, kita terima, dan kita anggap benar. Jika terdapat
penyataan yang koheren dengan pernyataan tersebut diatas, maka pernyataan ini
dapat dinyatakan Benar. Kerena koheren dengan pernyataan yang dahulu misalnya
Bung Karno memiliki anak bernama Megawati Sukarno Putri, Anak-anak Bung Karno
ada yang bernama Megawati Sukarno Putri atau Megawati Sukarno Putri adalah
keturunan Bungkarno dan lain – lain.
Jadi menurut teori ini, putusan yang satu dengan
puitusan yang lainnya saling berhubungan dan saling menerangkan satu sama
lainnya.
3.
Teori
Pragmatisme
Teori ketiga adalah teori pragmatisme tentang
kebenaran, the pragmatic [pramatist] theory of truth. Pragmatisme berasal dari
bahasa Yunani pragma, artinya yang dikerjakan, yang dapat dilaksanakan,
dilakukan, tindakan atau perbuatan. Falsafah ini dikembangan oleh seortang
orang bernama William James di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini
dinyatakan, bahwa sesuatu ucapan, hukum, atau sebuah teori semata-mata
bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika mendatangkan
manfaat. Suatu kebenaran atau suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah
apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia. Teori,
hipotesa atau ide adalah benar apabila ia membawa kepada akibat yang memuaskan,
jiak membawa akibat yang memuaskan, dan jika berlaku dalam praktik, serta
memiliki niali praktis, maka dapat dinyatakan benar dan memiliki nilai
kebenaran. Kebenaran terbukti oleh kegunannya, dan akibat-akibat praktisnya.
Sehingga kebenaran dinyatakan sebagai segala sesuatu yang berlaku. Menurut
William James “ ide-ide yang benar ialah ide-ide yang dapat kita serasikan,
jika kita umumkan berlakunya, kita kuatkan dan kita periksa. Menurut penganut
praktis, sebuah kebenaran dimaknakan jika memiliki nilai kegunaan [utility]
dapat dikerjakan [workability], akibat atau pengaruhnya yang memuaskan
[satisfactory consequence].
Dinyatakan sebuah kebenaran itu jika memilki “hasil
yang memuaskan “[satisfactory result], bila :
1.
Sesuatu yang benar jika memuaskan
keinginan dan tujuan manusia.
2.
Sesuatu yang benar jika dapat diuji benar
dengan eksperimen.
3.
Sesuatu yang benar jika mendorong atau
membantu perjuangan biologis untuk tetap ada.
B. ETIKA
1. Pengertian
Etika merupakan bagian dari aksiologi. Menurut
Sadulloh, istilah etika berasal dari kata “ethos” (Yunani) yang berarti adat kebiasaan. Dalam istilah lain, para
ahli yang begerak dalam bidang etika menyebutnya dengan “moral”, berasal dari
bahasa Yunani, juga berarti kebiasaan.
Walaupun antara etika dan moral terdapat perbedaan, tetapi para ahli tidak
membedakannya dengan tegas, bahkan secara praktis cenderung untuk memberi arti
yang sama. Etika merupakan cabang aksiologi yang pada
pokoknya membicarakan masalah predikat-predikat nilai “betul” (right),
“salah”(wrong) dalam arti “susila”(moral) dan “tidak susila” (immoral).[5]
Beberapa pendapat lain tentang pengertian etika adalah
pendapat Langeveld adalah teori perbuatan manusia yang ditimbang menurut baik
dan buruknya.[6]
2. Fungsi Etika
Dari pengertian – pengertian di atas dapat dipahami
bahwa etika merupakan cabang filsafat yang membahas dan membicarakan perbuatan
manusia. Dimana perbuatan manusia itu dilihat dan dinilai dari perspektif baik
dan buruk. Sehingga jelas bahwa etika memberikan nilai perbuatan manusia dalam
kodnisi normatif yaitu norma – norma kesusilaan atau nilai – nilai kesusilaan.
C. PENDIDIKAN
1. Pengertian
Pendidikan
adalah suatu proses yang mempunyai tujuan yang biasanya diusahakan untuk
menciptakan pola – pola tingkahlaku tertentu pada kanak – kanak atau orang yang
sedang dididik[7].
Muhaimin mengartikan pendidikan sebagai sebagai aktifitas berarti yang upaya
yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang
dalam mengembangkan padangan hidup (bagaimana orang akan menjalani dan
memanfaatkan hidup dna kehidupannya), sikap hidup dan keterampilan hidup.baik
yang bersifat mental maupun sosial.[8]
Sedangkan
dalam undang - undang RI No. 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana berlajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiriyual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Dari
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar
dari orang dewasa terhadap peserta didik dengan tujuan tertentu agar mereka
mendapatkan kemampuan baik secara sepiritual maupun sosial yang dapat
menjadikan mereka dapat menalani kehidupannya dengan baik.
2. Tujuan Pendidikan
Dalam
undang - undang RI No. 20 tahun 2003, tentang
Sistem Pendidikan Nasional tujuan pendidikan adalah mengembangkan
kemampuan dan membantuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencercaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
D. EPISTEMOLOGI DAN
PENDIDIKAN
Di dalam pendidikan,
epistemologi sangat penting untuk dipelajari karena alasan yang mendasar dari
pertimbangan srategis, pertimbangan kebudayaan dan pertimbangan pendidikan.
Ketiganya berpangkal pada pentingnya pengetahuan pada kehidupan manusia.
Berdasarkan pertimbangan srategis, epistemplogi perlu karena pengetahuan
sendiri merupakan hal yang sacara srategis perlu bagi perkembangan manusia,
berdasarkan pertimbangan kebudayaan, penjelasan yang pokok adalah kenyataan bahwa pengetahuan
merupakan salah satu unsur dasar kebudayaan. Dari segi petimbangan kebudayaan
mempelajari epistemologi diperlukan untuk mengungkap pandangan epestimologis
yang seharusnya ada dan terkandung dalam setiap kebudayaan. Sedangkan
berdasarkan pertimbangan pendidikan, epistemologi perlu dipelajari karena
manfaatnya untuk bidang pendidikan secara faktual.
Kegunaan memahami epistemologi bagi
pendidikan dikemukakan oleh Imam Barnadib (1976:12) sebagai berikut:[9]
Epistemologi
diperlukan antara lain dalam hubungan dengan penyusunan dasar kurikulum.
Kurikulum yang lazimnya diartikan sebangai sarana untuk mencapai tujuan
pendidikan, dapat diumpamakan sebagai jalan raya yang perlu dilewati oleh
peserta didik atau murid dalam usahanya untuk mengenal dan memahami
pengetahuan. Agar mereka berhasil dalam mencapai tujuan perlu diperkenalkan
sedikit demi sedikit hakikat dari pengetahuan.
Epistemologi
sangat berguna bagi teori pendidikan (filsafat pendidikan) dalam menentukan
kurikulum, pengetahuan apa yang harus diberikan pada anak, diajarkan di
sekolah, bagaimana cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut, begitu juga bagaimana
cara menyampaikan pengetahuan tersebut.
Diantara yang berkaitan dengan hal tersebut di atas
adalah sebagai berikut:
1.
Pengetahuan/muatan yang harus diberikan
kepada peserta didik Tingkat Pendidikan Dasar dan Menengah menurut
Undang-Undang No 20 th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah sebagai
berikut:
a.
pendidikan agama;
b.
pendidikan kewarganegaraan;
c.
bahasa;
d.
matematika;
e.
ilmu pengetahuan alam;
f. ilmu pengetahuan sosial;
g.
seni dan budaya;
h.
pendidikan jasmani dan olahraga;
i. keterampilan/kejuruan; dan
j. muatan lokal.
2.
Alat/media Pembelajaran
Kata
media merupakan bentuk jamak dari kata medium. Medium dapat didefinisikan
sebagai perantara atau pengantar terjadinya komunikasi dari pengirim menuju
penerima (Heinich et.al., 2002; Ibrahim, 1997; Ibrahim et.al.,
2001). Media merupakan salah satu komponen komunikasi, yaitu sebagai pembawa
pesan dari komunikator menuju komunikan (Criticos, 1996).
Atau bisa dikatakan media
pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan
(bahan pembelajaran), sehingga dapat merangsang perhatian, minat,pikiran, dan
perasaan peserta didik dalam kegiatan belajar untuk mencapai tujuan belajar.
Oleh
karena proses pembelajaran merupakan proses komunikasi dan berlangsung dalam
suatu sistem, maka media pembelajaran menempati posisi yang cukup penting
sebagai salah satu komponen sistem pembelajaran. Tanpa media, komunikasi tidak
akan terjadi dan proses pembelajaran sebagai proses komunikasi juga tidak akan
bisa berlangsung secara optimal. Media pembelajaran adalah komponen integral
dari sistem pembelajaran.
Dalam
proses pembelajaran, media memiliki fungsi sebagai pembawa informasi dari
sumber (guru) menuju penerima (peserta didik).
Media
pembelajaran diklasifikasi berdasarkan tujuan pemakaian dan karakteristik jenis
media. Terdapat lima model klasifikasi, yaitu menurut: (1) Wilbur Schramm, (2)
Gagne, (3) Allen, (4) Gerlach dan Ely, dan (5) Ibrahim.
Menurut
Schramm, media digolongkan menjadi media rumit, mahal, dan media sederhana.
Schramm juga mengelompokkan media menurut kemampuan daya liputan, yaitu (1)
liputan luas dan serentak seperti TV, radio, dan facsimile; (2) liputan
terbatas pada ruangan, seperti film, video, slide, poster audio tape; (3) media
untuk belajar individual, seperti buku, modul, program belajar dengan komputer
dam telpon. Menurut Gagne, media diklasifikasi menjadi tujuh kelompok, yaitu
benda untuk didemonstrasikan, komunikasi lisan, media cetak, gambar diam,
gambar bergerak, film bersuara, dan mesin belajar. Ketujuh kelompok media
pembelajaran tersebut dikaitkan dengan kemampuannya memenuhi fungsi menurut
hirarki belajar yang dikembangkan, yaitu pelontar stimulus belajar, penarik
minat belajar, contoh prilaku belajar, memberi kondisi eksternal, menuntun cara
berpikir, memasukkan alih ilmu, menilai prestasi, dan pemberi umpan balik.
Menurut Allen, terdapat sembilan kelompok media, yaitu: visual diam, film,
televisi, obyek tiga dimensi, rekaman, pelajaran terprogram, demonstrasi, buku
teks cetak, dan sajian lisan. Di samping mengklasifikasikan, Allen juga
mengaitkan antara jenis media pembelajaran dan tujuan pembelajaran yang akan
dicapai. Allen melihat bahwa, media tertentu memiliki kelebihan untuk tujuan
belajar tertentu tetapi lemah untuk tujuan belajar yang lain. Allen
mengungkapkan enam tujuan belajar, antara lain sebagai Info faktual, pengenalan
visual, prinsip dan konsep, prosedur, keterampilan, dan sikap. Setiap jenis
media tersebut memiliki perbedaan kemampuan untuk mencapai tujuan belajar; ada tinggi,
sedang, dan rendah. Menurut Gerlach dan Ely, media dikelompokkan berdasarkan
ciri-ciri fisiknya atas delapan kelompok, yaitu benda sebenarnya, presentasi
verbal, presentasi grafis, gambar diam, gambar bergerak, rekaman suara,
pengajaran terprogram, dan simulasi.
Menurut
Ibrahim, media dikelompokkan berdasarkan ukuran serta kompleks tidaknya alat
dan perlengkapannya atas lima kelompok, yaitu media tanpa proyeksi dua dimensi;
media tanpa proyeksi tiga dimensi; media audio; media proyeksi; televisi,
video, komputer.
Berdasarkan
pemahaman atas klasifikasi media pembelajaran tersebut, akan mempermudah para
guru atau praktisi lainnya dalam melakukan pemilihan media yang tepat pada
waktu merencanakan pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu. Pemilihan media
yang disesuaikan dengan tujuan, materi, serta kemampuan dan karakteristik
pebelajar, akan sangat menunjang efisiensi dan efektivitas proses dan hasil
pembelajaran.
3.
Prosedur atau Metode Pembelajaran
Metode
adalah prosedur untuk membantu peserta didik dalam menerima dan mengolah
informasi guna mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Dewey , dalam Uyoh
Sadulloh, metode yang sebaiknya digunakan dalam pendidikan adalah metode
disiplin, bukan dengan kekuasaan. Kekuasaan tidak dapat dijadikan metode
pendidikan karena merupakan suatu kekuatan yang datang dari luar, dan didasari
oleh suatu asumsi bahwa ada tujuan yang baik dan benar secara objektif, dan si
anak dipaksa untuk mencapai tujuan tersebut. Kekuasaan tidak sesuai dengan
kemauan dan minat anak serta gurulah yang menentukan segala-galanya. Guru
memaksakan bahan pengajaran kepada anak, dan guru pulalah yang berpikir untuk
anak. Dengan cara demikian tidak mungkin anak akan mempunyai perhatian yang
spontan atau minat langsung terhadap bahan pelajaran.
Sebenarnya
tidak ada pemikiran yang mendalam tentang metode, tetapi metode apapun yang
dipakai harus merujuk pada cara untuk mencapai kebahagiaan dan karakter yang
baik.
Berdasarkan
Peraturan Menteri pendidikan Nasional RI No 41 tahun 2007 tentang Standar
proses, pada kegiatan inti Pembelajaran menggunakan metode yang disesuaikan
dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran, yang dapat meliputi
proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
a.
Eksplorasi
Dalam
kegiatan eksplorasi guru:
v
Melibatkan peserta didik mencari
informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari
dengan menggunakan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka
sumber
v
Menggunakan
beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain
v
Memfasilitasi terjadinya interaksi
antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya
v
Melibatkan peserta didik secara
aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran, dan
v
Memfasilitasi peserta didik
melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan
b.
Elaborasi
Dalam
kegiatan elaborasi, guru:
v
Membiasakan peseta didik membaca
menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna.
v
Memfasilitasi peserta didik
melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru
baik secara lisan maupun tertulis.
v
Memberi kesempatan untuk berfikir,
menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut.
v
Memfasilitasi peserta didik dalam
pembelajaran kooperatif dan kolaboratif
v
Memfasilitasi peserta didik
berkompetensi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar
v
Memfasilitasi peserta didik
membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara
indifidual maupun kelompok.
v
Memfasilitasi peserta didik untuk
menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok.
v
Memfasilitasi peserta didik
melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan
v
Memfasilitasi peserta didik
melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan dan rasa percaya diri
peserta didik
c.
Konfirmasi
Dalam
kegiatan konfirmasi, guru:
v
memberikan umpan balik positif dan
penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap
keberhasilan peserta didk
v
memberikan konfirmasi terhadap
hasil elsplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagi sumber
v
memfasilitasi peserta didik
melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan
v
memfasilitasi peserta didik untuk
memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar yaitu berfungsi
sebagai nara sumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik
yang menghadapi kesulitan,dengan menggunaka
4.
Hal-hal yang harus diperhatikan agar anak
mendapatkan pengetahuan yang benar
Menurut James, dalam Uyoh Sadulloh, pengetahuan yang
benar adalah pengetahuan yang berguna. Beberapa hal yang harus diperhatikan
guru agar anak mendapatkan pengetahuan yang benar diantaranya:
a.
Guru tidak boleh memaksakan suatu ide
atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat dan kemampuan peserta didik.
b.
Guru hendaknya menciptakan suatu situasi
yang menyebabkan peserta didik akan merasakan adanya suatu masalah yang ia
hadapi, sehingga timbul minat untuk memecahkan masalah tersebut.
c.
Untuk membangkitkan minat anak hendaklah
guru mengenal kemampuan serta minat masing-masing peserta didik.
d.
Guru harus dapat menciptakan situasi yang
menimbulkan kerjasama dalam belajar, antara peserta didik dengan peserta didik,
antara peserta didik dengan guru, begitu pula antara guru dengan guru.
E.
EPISTEMOLOGI, AKSIOLOGI (ETIKA)
DAN PENDIDIKAN
Sebagaimana di jelaskan sebelumnya bahwa epistemology membahas bagaimana
manusia mendapatkan ilmu pengetahuan. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari aksiologi
sebagai nilai – nilai yang terkandung di dalamnya. Karena dalam hal ini
aksiologi berarti menyajikan hubungan antara etika dan ilmu, dimana etika
sangat terkait hubungannya (inhaerent) dengan ilmu. Persoalan aksiologi adalah
seputar bebas nilai atau tidaknya ilmu, hal ini merupakan persoalan yang rumit,
tak mungkin dijawab dengan sekedar ya atau tidak. Aksiologi juga merupakan
studi tentang prinsip-prinsip dan konsep yang mendasari penilaian terhadap
prilaku manusia. Contohnya tindakan yang membedakan benar atau salah menurut
moral, apakah kesenangan merupakan ukuran dapat dikatakan sebagai ukuran yang
baik, apakah putusan moral bertindak sewenang-wenang atau bertindak sekendak
hati.
Pendidikan secara langsung berkaitan dengan nilai. Berdasarkan nilai
tersebut, pendidikan dapat menentukan tujuan, motivasi, kurikulum, metode
belajar, dan sebagainya.Pendidikan terlebih dahulu harus menentukan nilai mana
yang akan dianut sebelum menentukan kegiatannya. Hal ini berarti bahwa nilai
terletak dalam tujuan. Pembahasan nilai nilai pendidikan terletak di dalam
rumusan dan uraian tentang tujuan pendidikan. Sebagai buktinya, tujuan
pendidikan nasional, berdasarkan Undang-Undang No.20 tahun 2003, tentang Sistem
Pendidikan Nasional, adalah berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang:
1. beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa,
2. berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
3. menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya
bahwa etika merupakan cabang aksiologi yang pada pokoknya membicarakan masalah
predikat-predikat nilai “betul” (right), “salah”(wrong) dalam
arti “susila”(moral) dan “tidak susila” (immoral). Diantara etika yang penting
untuk menjadi perhatian dalam dunia pendidikan adalah:
1.
Nilai-nilai yang guru kenalkan pada
peserta didik untuk diadopsi
Kompetensi
Kepribadian adalah salah satu kompetensi yang mutlak harus dimiliki oleh guru,
kepala sekolah, pengawas pendidikan. Pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
RI No 16 tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru,
menjelaskan bahwa seorang guru harus memiliki Kompetensi pedagogik,
kepribadian, sosial dan profesional.
Pada Kompetensi Kepribadian, guru
dituntut untuk:
a.
bertindak sesuai dengan norma agama,
hukum, sosial, dan kebudayaan nasional pendidikan. Dalam hal ini seorang guru
harus:
v
menghargai peserta didik tanpa
membedakan keyakinan yang dianut, suku, adat-istiadat, daerah asal dan gender
v
bersikap sesuai dengan norma agama
yang dianut, hukum dan norma sosial yang belaku dalam masyarakat, serta
kebudayaan nasional Indonesia yang beragam
b.
Menampilkan diri sebagai pribadi yang
jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat. Guru
diharapkan:
v
Berperilaku jujur, tegas dan
manusiawi
v
Berperilaku yang mencerminkan
ketakwaan dan akhlak mulia
v
Berperilaku yang dapat diteladani
oleh peserta didik dan anggota masyarakat di sekitarnya.
c.
Menampilkan diri sebagai pribadi yang
mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa:
v
Menampilkan diri sebagai pribadi
yang mantap dan stabil
v
Menampilkan diri sebagai pribadi
yang dewasa, arif dan berwibawa
d.
Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab
yang tinggi, rasa bangga menjadi gurum dan rasa percaya diri:
v
Menunjukkan etos kerjadan tanggung
jawab yang tinggi
v
Bangga menjadi guru dan percaya
diri sendiri
v
Bekerja mandiri secara profesional
e.
Menjunjung tinggi kode etik profesi guru:
v
Memahami kode etik profesi guru
v
Menerapkan kode etik profesi guru
v
Berperilaku sesuai dengan kode
etik guru
Kompetensi
kepribadian guru di atas mutlak dimiliki oleh seorang guru karena guru bagaikan
orang tua di sekolah yang sikap dan tingkah lakunya dijadikan panutan dan
diadopsi oleh peserta didik. Hal tersebut merupakan cerminan dari kata bijak
yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara, seorang pendidik dan atasan harus Ing Ngarso sung tulodho (di depan
memberikan teladan)
2.
Etika dalam profesi guru
a.
Dilihat dari kepentingan peserta didik
KODE
ETIK
|
KEPENTINGANNYA
|
1.
Guru berbakti membimbing peserta didik
untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila
|
v
Guru dalam membimbing peserta
didik perlu bersifat humanis-demokratik untuk menciptakan situasi pendidikan
agar tercipta konformitas internalisasi bagi peserta didiknya.
v
Guru perlu mendorong
berkembangnya kemampuan yang ada pada diri peserta didik agar peserta didik
dapat mengembangkan kedirian dan kemandirianya. Pengembangan kebebasan
disertai dengan pertimbangan rasional, perasaan, nilai dan sikap, ketrampilan
dan pengalaman diri peserta didik.
|
2.
Guru berusaha memperoleh informasi
tentang peserta didik sebagi bahan melakukan bimbingan dan pembinaan
|
v
Guru perlu menghadapi anak didiknya
secara tepat sesuai dengan sifat-sifat khas yang ditampilkan anak didiknya
itu.
v
Guru perlu menghadapi anak
dengan benar dalam membentuk tingkah laku yang benar.
v
Guru harus terhindar dari
pemahaman yang salah tentang anak, khususnya mengenai keragaman proses
perkembangan anak yang mempengaruhi keragaman kemampuannya dalam belajar.
|
3.
Guru menciptakan suasana sekolah
sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya PBM
|
v
Guru seharusnya memahami
perkembangan tingkah laku peserta didiknya. Apabila guru memahami tingkahlaku
peserta didik dan perkembangan tingkah laku itu, maka strategi, metode, media
pembelajaran dapat dipergunakan secara lebih efektif.
v
Tugas yang penting bagi guru
dalam melakukan pendekatan kepada peserta didik adalah menjadikan peserta
didik mampu mengembangkan keyakinan dan penghargaan terhadap dirinya sendiri,
serta membangkitkan kecintaan terhadap belajar secara berangsur-angsur dalam
diri peserta didik.
v
Sesuai dengan pendapat Prayitno,
bahwa pembelajaran harus sesuai konsep HMM (Harkat dan Martabat Manusia).
Antara guru dan peserta didik terjalin hubungan yang menimbulkan situasi
pendidikan yang dilandasi dua pilar kewibawaan dan kewiyataan. Pengaruh guru
terhadap peserta didik didasarkan pada konformitas internalisasi.
|
4.
Guru memiliki dan melaksanakan
kejujuran professional
|
v
Kejujuran adalah salah satu
keteladanan yang harus dijaga guru selain prilaku lain seperti mematuhi
peraturan dan moral, berdisiplin, bersusila dan beragama.
v
Guru harus menjaga keteladanan
agar dapat diterima dan bahkan ditiru oleh peserta didik.
|
5.
Menjaga hubungan baik dengan orangtua,
murid dan masyarakat sekitar untuk membina peran serta dan tanggung jawab
bersama terhadap pendidikan
|
v
Guru harus bekerjasama dengan
orangtua dan juga lingkungan masyarakat dalam pendidikan. Tanggung jawab
pembinaan terhadap peserta didik ada pada sekolah, keluarga, dan masyarakat.
v
Hal yang menyangkut kepentingan
si anak seyogyanya guru (sekolah) mengajak orangtua dan bahkan lingkungan
masyarakat untuk bermusyawarah.
|
b.
Dilihat dari kepentingan antar pendidik
KODE
ETIK
|
KEPENTINGANNYA
|
6.
Seorang guru harus saling menghormati
dan menghargai sesama rekan seprofesi
|
v
Etos kerja harus dijaga dengan
menciptakan lingkungan kerja yang sehat, dinamis, serta menjaga hubungan baik
dengan saling menghormati dan menghargai dan mau bekerjasama/ saling menolong
antar sesame guru.
|
7.
Guru secara pribadi dan bersama-sama
mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya
|
v
Seharusnya guru tetap berusaha
memacu diri untuk selalu mengembangkan dan meningkatkan mutu pendidikan
dengan usaha pengembangan diri yang optimal melalui pelatihan, penataran,
atau seminar. Jika mutu guru baik, maka martabat profesi guru juga akan
meningkat.
v
Guru juga seharusnya merubah
paradigma lama dengan paradigma baru yang sesuai dengan tuntutan kurikulum
serta senantiasa terus melakukan upaya perbaikan dalam meningkatkan mutu
pendidikan
v
Guru tidak melakukan perbuatan
yang bertentangan peraturan Negara dan norma yang berlaku yang dapat
menjatuhkan harkat dan martabat guru.
|
8.
Guru memelihara hubungan seprofesi,
semangat kekeluargaan dan kesetiakawanan social
|
v
Perlu ada hubungan yang harmonis
antar sesama profesi guru. Tidak saling merendahkan guru lain. Justru
sebaliknya harus saling menjaga martabat profesi guru. Segala persoalan
diselesaikan dengan musyawarah dan semangat kekeluargaan. Terhadap sesama
guru harus mau saling bekerjasama dan memiliki kesetiakawanan social (saling
menolong).
|
9.
Guru bersama-sama memelihara dan
meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdiannya
|
v
Sebagai anggota PGRI, guru
seharusnya aktif terlibat dalam kegiatan organisasi. Berusaha meningkatkan
perjuangan dan pengabdiannya terhadap dunia pendidikan bersama-sama dengan
komponen bangsa lainnya.
v
Menjaga
martabat PGRI sebagai organisasi guru.
|
10. Guru bersama-sama melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam
bidang pendidikan.
|
v
Seharusnya guru secara
bersama-sama membuat perangkat pembelajaran (program tahunan, program
semester, silabus, RPP, dan sistem penilaian) sesuai kurikulum yang berlaku.
Perangkat disiapkan terencana dan terjadwal.
v
Guru/sekolah dilarang membuat
kebijakan yang bertentangan dengan pemerintah di bidang pendidikan.
|
Karena kode etika itu adalah
nilai-nilai maka ia perlu dihayati dan diamalkan, bukan sekadar diketahui dan
dihafalkan. Pengetahuan tentang etika dapat membantu guru memecahkan banyak
dilema yang muncul di kelas. Seringkali, para guru harus mengambil tindakan
dalam situasi-situasi dimana mereka tidak mampu mengumpulkan semua fakta
relevan dan dimana tidak ada arah tindakan yang tunggal yang secara total benar
atau salah. Etika dapat menyumbangkan
kepada guru cara-cara berfikir mengenai permasalahan-permasalahan yang sulit
untuk menentukan arah tindakan yang benar. Cabang dari filsafat ini juga
membantu guru memahami bahwa “pemikiran etis dan pembuatan keputusan bukanlah semata-mata
mengikuti aturan-aturan”. Nilai-nilai etika juga
seharusnya ditanamkan dalam pribadi para pemimpin pendidikan (kepala sekolah),
guru, staf dan anak didik.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa epistemologi berusaha
menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan yang berupa
ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan agar kita
mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri?
Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan
pengetahuan yang berupa ilmu?.
Epistemologi yang membahas bagaimana proses mendapatkan
pengetahuan itu tidak terlepas dari yang disebut aksiologi (etika) yang
menjawab untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana
kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana
penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana
kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah
dengan norma-norma moral?
Dalam duina pendidikan sekolah sebagai sarana dan media
mendapatkan pengetahuan harus mampu memberikan ilmu pengetahuan (ontologi),
mempertajam penalaran (epistemologi), dan memberikan karakter positif kepada
manusia agar memanfaatkan ilmunya agar bermanfaat (aksiologi), tidak hanya
untuk dirinya, melainkan juga masyarakat dan alam atau lingkungan hidup bahkan
bangsa dan negara.
Disusun oleh: Asep irfan Rifa'i (Mahasiswa Pascasarjana UIA Jakarta: 2012)
Baftar bacaan:
[1]
Uyoh Sadulloh. 2008. Pengantar
Filsafat Pendidikan. Alfabeta: Bandung. Hal. 88
[2]
Ibid. hal. 29.
[3]
Suriasumantri, 1996. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
hal. 119
[4]
Nana Suryana dan Tedi Priatna dalam hand out mata kuliah filsafat ilmu Fakultas
Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tidak diterbitkan.
[5]
Sadulloh, loc.cit. hal. 40
[6]
Ibid.
[7]
Hasan langgulung, 1995. Manusia dan Pendidikan. Al-Husna Zikra. Jakarta.
Hal. 31
[8]
Muhaimin, 2004. Paradigma Pendidikan Islam. Remaja Rosda karya, bandung. Hal.
37