Friday, April 27, 2012

LOMBA GURU BERPRESTASI TINGKAT KECAMATAN MUSTIKAJAYA TAHUN 2012




Tuesday, April 24, 2012

KAJIAN EPISTEMOLOGI DAN ETIKA PENDIDIKAN

BAB I
PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG
Dimensi filsafat ilmu yang sering menjadi kajian secara umum yaitu meliputi tiga hal: dimensi ontologi, dimensi epistemologi, dan dimensi aksiologi. Ketiganya merupakan cakupan yang meliputi dari keseluruhan–keseluruhan pemikiran kefilsafatan. Dalam makalah ini dipaparkan tentang satu diantara cabang filsafat tersebut, yaitu epistemologi yang berhubungan dengan etika pengetahuan terutama etika yang berkaitan dengan pendidikan.
Dimensi epistemologi merupakan aspek yang membahas tentang bagaimana pengetahuan itu didapatkan. Berbagai cara dilakukan manusia untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang kemudian dengan pengetahuan tersebut semakin meningkatkan kualitas peradaban manusia itu sendiri. Proses mendapatkannya ada yang dengan cara non ilmiah maupun secara ilmiah. Pengetahuan pengetahuan yang didapatkan oleh manusia itu jelas diharapkan memiliki nilai kegunaan yang dapat membantu manusia mengangkat derajat manusia menjadi manusia yang beradab dan berbudi luhur. Dalam hal ini pengetahuan jelas tidak dapat dipisahkan dengan nilai atau etika pengetahuan itu sendiri.
Etika merupakan bagian dari apa yang disebut aksiologi. Aksiologi adalah nilai yang terkandung dalam ilmu pengetahuan. Sebagai manusia yang bermoral kita sepakat bahwa pengetahuan harus berdasar pada nilai – nilai yang ada baik nilai moral maupun nilai tansendental. Yang dimaksud dengan nilai moral adalah yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap sessama sedangkan nilai transcendental adalah nilai yang dipertanggungjawabkan di hadapan Yang Maha Kuasa.
Dalam dunia pendidikan etika sangat penting digunakan, karena pendidikan berkaitan langsung dengan nilai. Berdasarkan nilai tersebut pendidikan dapat menentukan tujuan, motivasi, kurikulum, metode belajar, dan dan sikap terhadap peserta didik[1]. Pengetahuan etika dapat membantu guru dalam memecahkan banyak dilema yang muncul di kelas. Seringkali guru dihadapkan pada permasalahan dimana guru harus mengambil keputusan secara cepat dan tepat dimana mereka belum mampu mengumpulakan fakta yang relefan terhadap permasalahan yang di hadapi, harus tetap membuat keputusan yang tepat, setidaknya meminimalisir resiko yang dihasilkan dari keputusan yang dibuatnya. Etika dapat menyumbangkan kepada guru – guru bagimana cara berpikir dan membuat keputusan yang tepat.

B.     RUMUSAN MASALAH
  1. Apa yang dimaksud dengan epistemologi?
  2. Apa yang di maksud dengan etika?
  3.  Apa yang di maksud dengan pendidikan?
  4. Apa hubungan epistemologi dengan etika pendidikan?

C.     TUJUAN
  1. Mengetahui makna epistemologi.
  2. Mengetahui makna etika.
  3.  Mengetahui makna pendidikan.
  4. Mengetahui hubungan epistemologi dengan etika pendidikan.
 
BAB II
KAJIAN EPISTEMOLOGI DAN ETIKA PENDIDIKAN

A.     EPISTEMOLOGI
  1. Pengertian
Salah satu kajian filsafat adalah kajian epistemologi. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani Kuno, dengan asal kata “episteme” yang berarti pengetahuan, dan “logos” yang berarti “teori”. Secara etimologi    epistemologi berarti teori pengetahuan.[2] Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: Apakah sumber pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan, dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia?[3]
Jadi, hal pokok yang di bahas dalam kajian epistemologi adalah membahas tentang apa yang menjadi sumber pengetahuan, bagaimana memperoleh pengetahuan dan prosedur memperoleh pengetahuan tersebut.

  1. Cara mendapatkan pengetahuan
Sebelum membahas bagaimana cara mendapatkan pengetahuan perlu kiranya kita ketahui apa yang dimaksud dengan tahu dan pengetahuan. Tahu adalah keadaan seseorang memiliki arsip informasi dalam memorinya (otak/hatinya). Sedangkan Pengetahuan secara luas dapat diartikan mencakup segala hal yang kita ketahui tentang sesuatu objek tertentu. Jadi, pengetahuan adalah terminologi generik yang mencakup segenap cabang pengetahuan yang kita miliki.
Manusia memperoleh pengetahuan dari beberapa sumber, maka dari itu kita dapat mengajukan pertanyaan “bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan”? Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan:
1.      Empirisme
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa), dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut. Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu dilacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual.

2.      Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.

3.      Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman. Segala sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang segala sesuatu seperti keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon). Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan di dasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.

4.      Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif. Salah satu di antara unsur-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap diperoleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi -yang meliputi sebagian saja- yang diberikan oleh analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya. Pengetahuan yang didapat dari dalam dirinya sendiri, muncul tiba-tiba dalam kesadaran manusia hsil penghayatan pribadi, validitasnya sangat bersifat pribadi. Intuisi mempengaruhi kita bahwa kita mengetahui sesuatu namun kita tidak mengetahui bagaimana kita mengetahui. Bagi guru tidak hanya mngetahui bagaimana peserta didik memperoleh pengetahuan melainkan juga bagaimana peserta didik belajar.

5.      Pengetahuan wahyu
            Manusia memperoleh pengetahuan dan kebenaran atas dasar wahyu yang diberikan Tuhan kepada manusia. Tuhan telah memberi pengetahuan dan kebenaran kepada manusia pilihannya, yang dapat dijadikan petunjuk bagi manusia dalam kehidupannya. Wahyu merupakan firman Tuhan, kebenarannya adalah mutlak dan abadi. Pengetahuan wahyu bersifat eksternal, artinya pengetahuan tersebut berasal dari luar manusia.
Selain itu ada juga pendapat yang menyatakan bahwa manusia juga mendapatkan pengetahuan dapat melalui berbagai cara, sebagai berikut[4]:
a.       Explanation magic, yaitu menghubungkannya dengan hal – hal gaib (takhyul dan animisme);
b.      Authoryty and Tradition, yaitu menghubungkannya dengan apa yang telah dilakukan pemimpinnya. Demikian selanjutnya menjadi tradisi.
c.       Generalization by experience, menggunakan pengalaman – pengalaman untuk menarik suatu kesimpulan yang sifatnya umum dalam dalam memecahkan masalah yang dihadapinya.
d.      Trial and error atau approximation and correction, yaitu mencoba – coba sampai (secara tiba – tiba) menemukan pemecahannya yang dianggap memuaskan.
e.       Speculation and Argumentation, yaitu mengajukan kemungkinan –kemungkinan, lalu diambilnya suatu kemungkinan dengan harapan berhasil dan benar kiranya
f.        Metode Deduksi, secara deduksi seseorang berpijak dari hal – hal yang bersifat umum untuk memecahkan masalah – masalah yang khusus. (Aristoteles)
g.       Metode Induksi, mencari fakta – fakta yang nyata dan murni dari pengalaman dan masyarakat. Dari fakta – fakta itulah ditarik kesimpulan yang bersifat umum (francis bacon). Metode ini merupakan salah satu ciri research modern atau dari sinilah bermula metode penelitian ilmiah.
h.       Hypotesis and experimen, yaitu membuat hipotesis – hipotesis, lalu mengumpulkan fakta – fakta, selanjutnya dengan analisa yang sangat cermat, hati – hati dan tajam terhadap fakta – fakta tersebut diambil suatu kesimpulan yang tepat dan bersifat umum yang menjelaskan fakta – fakta tadi.
Ada beberapa teori yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk menentukan apakah pengetahuan itu benar atau salah, yaitu;
1.      Teori Korespondensi
Teori yang pertama ialah teori korespondensi [Correspondence Theory of Truth], yang kadang kala disebut The accordance Theory of Truth. Menurut teori ini dinyatakan bahwa, kebenaran atau keadaan benar itu berupa kesesuaian [correspondence] antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan dengan apa yang sungguh-sungguh terjadi merupakan kenyataan atau faktanya. Kebenaran adalah yang bersesuaian dengan fakta, yang beralasan dengan realitas, yang serasi (corresponds) dengan situasi actual. Kebenaran ialah suatu yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi aktual. Kebenaran ialah persesuaian (agreement) antara pernyataan (statement) mengenai fakta dengan fakta aktual; atau antara putusan (Judgment) dengan situasi seputar (Enviromental situation) yang diberinya intepretasi.
Jika sensasi kita, persepsi kita, pemahaman kita, konsep dan teori kita bersesuaian dengan realitas obyektif, dan jika itu semua mencerminkannya dengan cermat, maka kita katakan itu semua benar: pernyataan, putusan dan teori yang benar kita sebut kebenaran. Sebagai contoh dapat dikemukakan : " Surabaya adalah Ibu Kota Provinsi Jawa Timur sekarang" ini adalah sebuah pernyataan; dan apabila kenyataannya memang Surabaya adalah Ibu Kota Provinsi Jawa Timur ", pernyataan itu benar, maka pernyataan itu adalah suatu kebenaran.
Mengenai Teori Korespondensi tentang kebenaran dapat disimpulkan sebagai berikut Kita mengenal dua hal, yaitu : pertama pernyataan dan kedua keyataan. Menurut teori ini kebenaran ialah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu sendiri.
2.      Teori Konsistensi
Teori ini sering disebut juga sebagai teori koherensi. Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgment) dengan sesuatu yang lalu, yakni fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan demikian, kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan akui benarnya terlebih dahulu. Jadi suatu proposisi itu cenderung untuk benar jika proposisi itu coherent [saling berhubungan] dengan proposisi yang benar, atau jika arti yang terkandung oleh proposisi tersebut koheren dengan pengalaman kita. suatu putusan adalah benar apabila putusan itu konsisten dengan putusan-putusan yang terlebih dahulu kita terima, dan kita ketahui kebenarannya. Putusan yang benar adalah suatu putusan yang saling berhubungan secara logis dengan putusan-putusan lainnya yang relevance. Misalnya, Bungkarno, adalah ayahanda Megawati Sukarno Puteri, adalah pernyataan yang kita ketahui, kita terima, dan kita anggap benar. Jika terdapat penyataan yang koheren dengan pernyataan tersebut diatas, maka pernyataan ini dapat dinyatakan Benar. Kerena koheren dengan pernyataan yang dahulu misalnya Bung Karno memiliki anak bernama Megawati Sukarno Putri, Anak-anak Bung Karno ada yang bernama Megawati Sukarno Putri atau Megawati Sukarno Putri adalah keturunan Bungkarno dan lain – lain.
Jadi menurut teori ini, putusan yang satu dengan puitusan yang lainnya saling berhubungan dan saling menerangkan satu sama lainnya.
3.      Teori Pragmatisme
Teori ketiga adalah teori pragmatisme tentang kebenaran, the pragmatic [pramatist] theory of truth. Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani pragma, artinya yang dikerjakan, yang dapat dilaksanakan, dilakukan, tindakan atau perbuatan. Falsafah ini dikembangan oleh seortang orang bernama William James di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini dinyatakan, bahwa sesuatu ucapan, hukum, atau sebuah teori semata-mata bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika mendatangkan manfaat. Suatu kebenaran atau suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia. Teori, hipotesa atau ide adalah benar apabila ia membawa kepada akibat yang memuaskan, jiak membawa akibat yang memuaskan, dan jika berlaku dalam praktik, serta memiliki niali praktis, maka dapat dinyatakan benar dan memiliki nilai kebenaran. Kebenaran terbukti oleh kegunannya, dan akibat-akibat praktisnya. Sehingga kebenaran dinyatakan sebagai segala sesuatu yang berlaku. Menurut William James “ ide-ide yang benar ialah ide-ide yang dapat kita serasikan, jika kita umumkan berlakunya, kita kuatkan dan kita periksa. Menurut penganut praktis, sebuah kebenaran dimaknakan jika memiliki nilai kegunaan [utility] dapat dikerjakan [workability], akibat atau pengaruhnya yang memuaskan [satisfactory consequence].
Dinyatakan sebuah kebenaran itu jika memilki “hasil yang memuaskan “[satisfactory result], bila :
1.      Sesuatu yang benar jika memuaskan keinginan dan tujuan manusia.
2.      Sesuatu yang benar jika dapat diuji benar dengan eksperimen.
3.      Sesuatu yang benar jika mendorong atau membantu perjuangan biologis untuk tetap ada.

B.     ETIKA
1.      Pengertian
Etika merupakan bagian dari aksiologi. Menurut Sadulloh, istilah etika berasal dari kata “ethos” (Yunani) yang berarti adat kebiasaan. Dalam istilah lain, para ahli yang begerak dalam bidang etika menyebutnya dengan “moral”, berasal dari bahasa Yunani, juga berarti kebiasaan. Walaupun antara etika dan moral terdapat perbedaan, tetapi para ahli tidak membedakannya dengan tegas, bahkan secara praktis cenderung untuk memberi arti yang sama. Etika merupakan cabang aksiologi yang pada pokoknya membicarakan masalah predikat-predikat nilai “betul” (right), “salah”(wrong) dalam arti “susila”(moral) dan “tidak susila” (immoral).[5]
Beberapa pendapat lain tentang pengertian etika adalah pendapat Langeveld adalah teori perbuatan manusia yang ditimbang menurut baik dan buruknya.[6]
2.      Fungsi Etika
Dari  pengertian – pengertian di atas dapat dipahami bahwa etika merupakan cabang filsafat yang membahas dan membicarakan perbuatan manusia. Dimana perbuatan manusia itu dilihat dan dinilai dari perspektif baik dan buruk. Sehingga jelas bahwa etika memberikan nilai perbuatan manusia dalam kodnisi normatif yaitu norma – norma kesusilaan atau nilai – nilai kesusilaan.

C.     PENDIDIKAN
1.      Pengertian
Pendidikan adalah suatu proses yang mempunyai tujuan yang biasanya diusahakan untuk menciptakan pola – pola tingkahlaku tertentu pada kanak – kanak atau orang yang sedang dididik[7]. Muhaimin mengartikan pendidikan sebagai sebagai aktifitas berarti yang upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan padangan hidup (bagaimana orang akan menjalani dan memanfaatkan hidup dna kehidupannya), sikap hidup dan keterampilan hidup.baik yang bersifat mental maupun sosial.[8]
Sedangkan dalam undang - undang RI No. 20 tahun 2003, tentang  Sistem Pendidikan Nasional pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana berlajar dan  proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiriyual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dari orang dewasa terhadap peserta didik dengan tujuan tertentu agar mereka mendapatkan kemampuan baik secara sepiritual maupun sosial yang dapat menjadikan mereka dapat menalani kehidupannya dengan baik.
2.      Tujuan Pendidikan
Dalam undang - undang RI No. 20 tahun 2003, tentang  Sistem Pendidikan Nasional tujuan pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan membantuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencercaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

D.    EPISTEMOLOGI DAN PENDIDIKAN
Di dalam pendidikan, epistemologi sangat penting untuk dipelajari karena alasan yang mendasar dari pertimbangan srategis, pertimbangan kebudayaan dan pertimbangan pendidikan. Ketiganya berpangkal pada pentingnya pengetahuan pada kehidupan manusia. Berdasarkan pertimbangan srategis, epistemplogi perlu karena pengetahuan sendiri merupakan hal yang sacara srategis perlu bagi perkembangan manusia, berdasarkan pertimbangan kebudayaan, penjelasan yang pokok adalah kenyataan bahwa pengetahuan merupakan salah satu unsur dasar kebudayaan. Dari segi petimbangan kebudayaan mempelajari epistemologi diperlukan untuk mengungkap pandangan epestimologis yang seharusnya ada dan terkandung dalam setiap kebudayaan. Sedangkan berdasarkan pertimbangan pendidikan, epistemologi perlu dipelajari karena manfaatnya untuk bidang pendidikan secara faktual.
 Kegunaan memahami epistemologi bagi pendidikan dikemukakan oleh Imam Barnadib (1976:12) sebagai berikut:[9]
Epistemologi diperlukan antara lain dalam hubungan dengan penyusunan dasar kurikulum. Kurikulum yang lazimnya diartikan sebangai sarana untuk mencapai tujuan pendidikan, dapat diumpamakan sebagai jalan raya yang perlu dilewati oleh peserta didik atau murid dalam usahanya untuk mengenal dan memahami pengetahuan. Agar mereka berhasil dalam mencapai tujuan perlu diperkenalkan sedikit demi sedikit hakikat dari pengetahuan.
        Epistemologi sangat berguna bagi teori pendidikan (filsafat pendidikan) dalam menentukan kurikulum, pengetahuan apa yang harus diberikan pada anak, diajarkan di sekolah, bagaimana cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut, begitu juga bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut.


Diantara yang berkaitan dengan hal tersebut di atas adalah sebagai berikut:
1.      Pengetahuan/muatan yang harus diberikan kepada peserta didik Tingkat Pendidikan Dasar dan Menengah menurut Undang-Undang No 20 th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah sebagai berikut:
a.      pendidikan agama;
b.      pendidikan kewarganegaraan;
c.      bahasa;
d.      matematika;
e.      ilmu pengetahuan alam;
f. ilmu pengetahuan sosial;
g.      seni dan budaya;
h.      pendidikan jasmani dan olahraga;
i. keterampilan/kejuruan; dan
j. muatan lokal.
2.      Alat/media Pembelajaran
Kata media merupakan bentuk jamak dari kata medium. Medium dapat didefinisikan sebagai perantara atau pengantar terjadinya komunikasi dari pengirim menuju penerima (Heinich et.al., 2002; Ibrahim, 1997; Ibrahim et.al., 2001). Media merupakan salah satu komponen komunikasi, yaitu sebagai pembawa pesan dari komunikator menuju komunikan (Criticos, 1996).
Atau bisa dikatakan media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan (bahan pembelajaran), sehingga dapat merangsang perhatian, minat,pikiran, dan perasaan peserta didik dalam kegiatan belajar untuk mencapai tujuan belajar.
Oleh karena proses pembelajaran merupakan proses komunikasi dan berlangsung dalam suatu sistem, maka media pembelajaran menempati posisi yang cukup penting sebagai salah satu komponen sistem pembelajaran. Tanpa media, komunikasi tidak akan terjadi dan proses pembelajaran sebagai proses komunikasi juga tidak akan bisa berlangsung secara optimal. Media pembelajaran adalah komponen integral dari sistem pembelajaran.
Dalam proses pembelajaran, media memiliki fungsi sebagai pembawa informasi dari sumber (guru) menuju penerima (peserta didik).
Media pembelajaran diklasifikasi berdasarkan tujuan pemakaian dan karakteristik jenis media. Terdapat lima model klasifikasi, yaitu menurut: (1) Wilbur Schramm, (2) Gagne, (3) Allen, (4) Gerlach dan Ely, dan (5) Ibrahim.
Menurut Schramm, media digolongkan menjadi media rumit, mahal, dan media sederhana. Schramm juga mengelompokkan media menurut kemampuan daya liputan, yaitu (1) liputan luas dan serentak seperti TV, radio, dan facsimile; (2) liputan terbatas pada ruangan, seperti film, video, slide, poster audio tape; (3) media untuk belajar individual, seperti buku, modul, program belajar dengan komputer dam telpon. Menurut Gagne, media diklasifikasi menjadi tujuh kelompok, yaitu benda untuk didemonstrasikan, komunikasi lisan, media cetak, gambar diam, gambar bergerak, film bersuara, dan mesin belajar. Ketujuh kelompok media pembelajaran tersebut dikaitkan dengan kemampuannya memenuhi fungsi menurut hirarki belajar yang dikembangkan, yaitu pelontar stimulus belajar, penarik minat belajar, contoh prilaku belajar, memberi kondisi eksternal, menuntun cara berpikir, memasukkan alih ilmu, menilai prestasi, dan pemberi umpan balik. Menurut Allen, terdapat sembilan kelompok media, yaitu: visual diam, film, televisi, obyek tiga dimensi, rekaman, pelajaran terprogram, demonstrasi, buku teks cetak, dan sajian lisan. Di samping mengklasifikasikan, Allen juga mengaitkan antara jenis media pembelajaran dan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Allen melihat bahwa, media tertentu memiliki kelebihan untuk tujuan belajar tertentu tetapi lemah untuk tujuan belajar yang lain. Allen mengungkapkan enam tujuan belajar, antara lain sebagai Info faktual, pengenalan visual, prinsip dan konsep, prosedur, keterampilan, dan sikap. Setiap jenis media tersebut memiliki perbedaan kemampuan untuk mencapai tujuan belajar; ada tinggi, sedang, dan rendah. Menurut Gerlach dan Ely, media dikelompokkan berdasarkan ciri-ciri fisiknya atas delapan kelompok, yaitu benda sebenarnya, presentasi verbal, presentasi grafis, gambar diam, gambar bergerak, rekaman suara, pengajaran terprogram, dan simulasi.
Menurut Ibrahim, media dikelompokkan berdasarkan ukuran serta kompleks tidaknya alat dan perlengkapannya atas lima kelompok, yaitu media tanpa proyeksi dua dimensi; media tanpa proyeksi tiga dimensi; media audio; media proyeksi; televisi, video, komputer.
Berdasarkan pemahaman atas klasifikasi media pembelajaran tersebut, akan mempermudah para guru atau praktisi lainnya dalam melakukan pemilihan media yang tepat pada waktu merencanakan pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu. Pemilihan media yang disesuaikan dengan tujuan, materi, serta kemampuan dan karakteristik pebelajar, akan sangat menunjang efisiensi dan efektivitas proses dan hasil pembelajaran.

3.      Prosedur atau Metode Pembelajaran
Metode adalah prosedur untuk membantu peserta didik dalam menerima dan mengolah informasi guna mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Dewey , dalam Uyoh Sadulloh, metode yang sebaiknya digunakan dalam pendidikan adalah metode disiplin, bukan dengan kekuasaan. Kekuasaan tidak dapat dijadikan metode pendidikan karena merupakan suatu kekuatan yang datang dari luar, dan didasari oleh suatu asumsi bahwa ada tujuan yang baik dan benar secara objektif, dan si anak dipaksa untuk mencapai tujuan tersebut. Kekuasaan tidak sesuai dengan kemauan dan minat anak serta gurulah yang menentukan segala-galanya. Guru memaksakan bahan pengajaran kepada anak, dan guru pulalah yang berpikir untuk anak. Dengan cara demikian tidak mungkin anak akan mempunyai perhatian yang spontan atau minat langsung terhadap bahan pelajaran.
Sebenarnya tidak ada pemikiran yang mendalam tentang metode, tetapi metode apapun yang dipakai harus merujuk pada cara untuk mencapai kebahagiaan dan karakter yang baik.
Berdasarkan Peraturan Menteri pendidikan Nasional RI No 41 tahun 2007 tentang Standar proses, pada kegiatan inti Pembelajaran menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran, yang dapat meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
a.       Eksplorasi
Dalam kegiatan eksplorasi guru:
v     Melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menggunakan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber
v      Menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain
v     Memfasilitasi terjadinya interaksi antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya
v     Melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran, dan
v     Memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan

b.      Elaborasi
Dalam kegiatan elaborasi, guru:
v     Membiasakan peseta didik membaca menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna.
v     Memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis.
v     Memberi kesempatan untuk berfikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut.
v     Memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif
v     Memfasilitasi peserta didik berkompetensi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar
v     Memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara indifidual maupun kelompok.
v     Memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok.
v     Memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan
v     Memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan dan rasa percaya diri peserta didik

c.       Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, guru:
v     memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didk
v     memberikan konfirmasi terhadap hasil elsplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagi sumber
v     memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan
v     memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar yaitu berfungsi sebagai nara sumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan,dengan menggunaka

4.      Hal-hal yang harus diperhatikan agar anak mendapatkan pengetahuan yang benar
                        Menurut James, dalam Uyoh Sadulloh, pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang berguna. Beberapa hal yang harus diperhatikan guru agar anak mendapatkan pengetahuan yang benar diantaranya:
a.       Guru tidak boleh memaksakan suatu ide atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat dan kemampuan peserta didik.
b.      Guru hendaknya menciptakan suatu situasi yang menyebabkan peserta didik akan merasakan adanya suatu masalah yang ia hadapi, sehingga timbul minat untuk memecahkan masalah tersebut.
c.       Untuk membangkitkan minat anak hendaklah guru mengenal kemampuan serta minat masing-masing peserta didik.
d.      Guru harus dapat menciptakan situasi yang menimbulkan kerjasama dalam belajar, antara peserta didik dengan peserta didik, antara peserta didik dengan guru, begitu pula antara guru dengan guru.

E.     EPISTEMOLOGI, AKSIOLOGI (ETIKA) DAN PENDIDIKAN
Sebagaimana di jelaskan sebelumnya bahwa epistemology membahas bagaimana manusia mendapatkan ilmu pengetahuan. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari aksiologi sebagai nilai – nilai yang terkandung di dalamnya. Karena dalam hal ini aksiologi berarti menyajikan hubungan antara etika dan ilmu, dimana etika sangat terkait hubungannya (inhaerent) dengan ilmu. Persoalan aksiologi adalah seputar bebas nilai atau tidaknya ilmu, hal ini merupakan persoalan yang rumit, tak mungkin dijawab dengan sekedar ya atau tidak. Aksiologi juga merupakan studi tentang prinsip-prinsip dan konsep yang mendasari penilaian terhadap prilaku manusia. Contohnya tindakan yang membedakan benar atau salah menurut moral, apakah kesenangan merupakan ukuran dapat dikatakan sebagai ukuran yang baik, apakah putusan moral bertindak sewenang-wenang atau bertindak sekendak hati.
Pendidikan secara langsung berkaitan dengan nilai. Berdasarkan nilai tersebut, pendidikan dapat menentukan tujuan, motivasi, kurikulum, metode belajar, dan sebagainya.Pendidikan terlebih dahulu harus menentukan nilai mana yang akan dianut sebelum menentukan kegiatannya. Hal ini berarti bahwa nilai terletak dalam tujuan. Pembahasan nilai nilai pendidikan terletak di dalam rumusan dan uraian tentang tujuan pendidikan. Sebagai buktinya, tujuan pendidikan nasional, berdasarkan Undang-Undang No.20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang:
1.      beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
2.      berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
3.      menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
              Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa etika merupakan cabang aksiologi yang pada pokoknya membicarakan masalah predikat-predikat nilai “betul” (right), “salah”(wrong) dalam arti “susila”(moral) dan “tidak susila” (immoral). Diantara etika yang penting untuk menjadi perhatian dalam dunia pendidikan adalah:
1.      Nilai-nilai yang guru kenalkan pada peserta didik untuk diadopsi
        Kompetensi Kepribadian adalah salah satu kompetensi yang mutlak harus dimiliki oleh guru, kepala sekolah, pengawas pendidikan. Pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No 16 tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, menjelaskan bahwa seorang guru harus memiliki Kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional.
              Pada Kompetensi Kepribadian, guru dituntut untuk:
a.       bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional pendidikan. Dalam hal ini seorang guru harus:
v     menghargai peserta didik tanpa membedakan keyakinan yang dianut, suku, adat-istiadat, daerah asal dan gender
v     bersikap sesuai dengan norma agama yang dianut, hukum dan norma sosial yang belaku dalam masyarakat, serta kebudayaan nasional Indonesia yang beragam
b.      Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat. Guru diharapkan:
v     Berperilaku jujur, tegas dan manusiawi
v     Berperilaku yang mencerminkan ketakwaan dan akhlak mulia
v     Berperilaku yang dapat diteladani oleh peserta didik dan anggota masyarakat di sekitarnya.
c.       Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa:
v     Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap dan stabil
v     Menampilkan diri sebagai pribadi yang dewasa, arif dan berwibawa
d.      Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi gurum dan rasa percaya diri:
v     Menunjukkan etos kerjadan tanggung jawab yang tinggi
v     Bangga menjadi guru dan percaya diri sendiri
v     Bekerja mandiri secara profesional
e.       Menjunjung tinggi kode etik profesi guru:
v     Memahami kode etik profesi guru
v     Menerapkan kode etik profesi guru
v     Berperilaku sesuai dengan kode etik guru
        Kompetensi kepribadian guru di atas mutlak dimiliki oleh seorang guru karena guru bagaikan orang tua di sekolah yang sikap dan tingkah lakunya dijadikan panutan dan diadopsi oleh peserta didik. Hal tersebut merupakan cerminan dari kata bijak yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara, seorang pendidik dan atasan harus Ing Ngarso sung tulodho (di depan memberikan teladan)
2.      Etika dalam profesi guru
a.       Dilihat dari kepentingan peserta didik
KODE ETIK
KEPENTINGANNYA
1.      Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila

v     Guru dalam membimbing peserta didik perlu bersifat humanis-demokratik untuk menciptakan situasi pendidikan agar tercipta konformitas internalisasi bagi peserta didiknya.
v     Guru perlu mendorong berkembangnya kemampuan yang ada pada diri peserta didik agar peserta didik dapat mengembangkan kedirian dan kemandirianya. Pengembangan kebebasan disertai dengan pertimbangan rasional, perasaan, nilai dan sikap, ketrampilan dan pengalaman diri peserta didik.
2.      Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagi bahan melakukan bimbingan dan pembinaan

v     Guru perlu menghadapi anak didiknya secara tepat sesuai dengan sifat-sifat khas yang ditampilkan anak didiknya itu.
v     Guru perlu menghadapi anak dengan benar dalam membentuk tingkah laku yang benar.
v     Guru harus terhindar dari pemahaman yang salah tentang anak, khususnya mengenai keragaman proses perkembangan anak yang mempengaruhi keragaman kemampuannya dalam belajar.
3.      Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya PBM

v     Guru seharusnya memahami perkembangan tingkah laku peserta didiknya. Apabila guru memahami tingkahlaku peserta didik dan perkembangan tingkah laku itu, maka strategi, metode, media pembelajaran dapat dipergunakan secara lebih efektif.
v     Tugas yang penting bagi guru dalam melakukan pendekatan kepada peserta didik adalah menjadikan peserta didik mampu mengembangkan keyakinan dan penghargaan terhadap dirinya sendiri, serta membangkitkan kecintaan terhadap belajar secara berangsur-angsur dalam diri peserta didik.
v     Sesuai dengan pendapat Prayitno, bahwa pembelajaran harus sesuai konsep HMM (Harkat dan Martabat Manusia). Antara guru dan peserta didik terjalin hubungan yang menimbulkan situasi pendidikan yang dilandasi dua pilar kewibawaan dan kewiyataan. Pengaruh guru terhadap peserta didik didasarkan pada konformitas internalisasi.
4.      Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran professional

v     Kejujuran adalah salah satu keteladanan yang harus dijaga guru selain prilaku lain seperti mematuhi peraturan dan moral, berdisiplin, bersusila dan beragama.
v     Guru harus menjaga keteladanan agar dapat diterima dan bahkan ditiru oleh peserta didik.
5.      Menjaga hubungan baik dengan orangtua, murid dan masyarakat sekitar untuk membina peran serta dan tanggung jawab bersama terhadap pendidikan

v     Guru harus bekerjasama dengan orangtua dan juga lingkungan masyarakat dalam pendidikan. Tanggung jawab pembinaan terhadap peserta didik ada pada sekolah, keluarga, dan masyarakat.
v     Hal yang menyangkut kepentingan si anak seyogyanya guru (sekolah) mengajak orangtua dan bahkan lingkungan masyarakat untuk bermusyawarah.

b.      Dilihat dari kepentingan antar pendidik
KODE ETIK
KEPENTINGANNYA
6.      Seorang guru harus saling menghormati dan menghargai sesama rekan seprofesi

v     Etos kerja harus dijaga dengan menciptakan lingkungan kerja yang sehat, dinamis, serta menjaga hubungan baik dengan saling menghormati dan menghargai dan mau bekerjasama/ saling menolong antar sesame guru.
7.      Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya

v     Seharusnya guru tetap berusaha memacu diri untuk selalu mengembangkan dan meningkatkan mutu pendidikan dengan usaha pengembangan diri yang optimal melalui pelatihan, penataran, atau seminar. Jika mutu guru baik, maka martabat profesi guru juga akan meningkat.
v     Guru juga seharusnya merubah paradigma lama dengan paradigma baru yang sesuai dengan tuntutan kurikulum serta senantiasa terus melakukan upaya perbaikan dalam meningkatkan mutu pendidikan
v     Guru tidak melakukan perbuatan yang bertentangan peraturan Negara dan norma yang berlaku yang dapat menjatuhkan harkat dan martabat guru.
8.      Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan dan kesetiakawanan social

v     Perlu ada hubungan yang harmonis antar sesama profesi guru. Tidak saling merendahkan guru lain. Justru sebaliknya harus saling menjaga martabat profesi guru. Segala persoalan diselesaikan dengan musyawarah dan semangat kekeluargaan. Terhadap sesama guru harus mau saling bekerjasama dan memiliki kesetiakawanan social (saling menolong).
9.      Guru bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdiannya

v     Sebagai anggota PGRI, guru seharusnya aktif terlibat dalam kegiatan organisasi. Berusaha meningkatkan perjuangan dan pengabdiannya terhadap dunia pendidikan bersama-sama dengan komponen bangsa lainnya.
v      Menjaga martabat PGRI sebagai organisasi guru.
10.  Guru bersama-sama melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan.

v     Seharusnya guru secara bersama-sama membuat perangkat pembelajaran (program tahunan, program semester, silabus, RPP, dan sistem penilaian) sesuai kurikulum yang berlaku. Perangkat disiapkan terencana dan terjadwal.
v     Guru/sekolah dilarang membuat kebijakan yang bertentangan dengan pemerintah di bidang pendidikan.

Karena kode etika itu adalah nilai-nilai maka ia perlu dihayati dan diamalkan, bukan sekadar diketahui dan dihafalkan. Pengetahuan tentang etika dapat membantu guru memecahkan banyak dilema yang muncul di kelas. Seringkali, para guru harus mengambil tindakan dalam situasi-situasi dimana mereka tidak mampu mengumpulkan semua fakta relevan dan dimana tidak ada arah tindakan yang tunggal yang secara total benar atau salah. Etika dapat menyumbangkan kepada guru cara-cara berfikir mengenai permasalahan-permasalahan yang sulit untuk menentukan arah tindakan yang benar. Cabang dari filsafat ini juga membantu guru memahami bahwa “pemikiran etis dan pembuatan keputusan bukanlah semata-mata mengikuti aturan-aturan”. Nilai-nilai etika juga seharusnya ditanamkan dalam pribadi para pemimpin pendidikan (kepala sekolah), guru, staf dan anak didik.

BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa epistemologi berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?.
Epistemologi yang membahas bagaimana proses mendapatkan pengetahuan itu tidak terlepas dari yang disebut aksiologi (etika) yang menjawab untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral?
Dalam duina pendidikan sekolah sebagai sarana dan media mendapatkan pengetahuan harus mampu memberikan ilmu pengetahuan (ontologi), mempertajam penalaran (epistemologi), dan memberikan karakter positif kepada manusia agar memanfaatkan ilmunya agar bermanfaat (aksiologi), tidak hanya untuk dirinya, melainkan juga masyarakat dan alam atau lingkungan hidup bahkan bangsa dan negara.
.
Disusun oleh: Asep irfan Rifa'i (Mahasiswa Pascasarjana UIA Jakarta: 2012)
Baftar bacaan:

[1] Uyoh Sadulloh. 2008. Pengantar Filsafat Pendidikan. Alfabeta: Bandung. Hal. 88
[2] Ibid. hal. 29.
[3] Suriasumantri, 1996. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular,  Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. hal. 119
[4] Nana Suryana dan Tedi Priatna dalam hand out mata kuliah filsafat ilmu Fakultas Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tidak diterbitkan. 
[5] Sadulloh, loc.cit. hal. 40
[6] Ibid.
[7] Hasan langgulung, 1995. Manusia dan Pendidikan. Al-Husna Zikra. Jakarta. Hal. 31
[8] Muhaimin, 2004. Paradigma Pendidikan Islam. Remaja Rosda karya, bandung. Hal. 37